Pada tahun 1966 bangsa Indonesia dihadapkan pada peristiwa yang gawat (genting), dan sekaligus merupakan tahun yang menjadi tonggak penting perjalanan negara Indonesia. Dikatakan gawat, karena pada tahun ini terjadi peristiwa G-30-S/PKI, dan disebut tonggak penting, mengingat pada tahun ini dikeluarkannya Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar). Namun tidak disangka-sangka dalam perkembangan selanjutnya, kedua peristiwa tersebut menjadi salah satu bagian (sisi) gelap sejarah Indonesia.
Supersemar merupakan bagian sejarah yang sangat penting, baik untuk memperjelas tentang peristiwa G-30-S/PKI maupun untuk membuktikan tentang pengalihan kekuasaan presiden yang terjadi pada saat itu. Tapi sayangnya, asli dari dokumen Supersemar yang bersejarah itu hingga kini tidak diketahui keberadaannya. Di sinilah sisi gelap dari ke dua peristiwa tersebut.
Oleh karena naskah aslinya belum ditemukan, maka muncul pertanyaan mendasar, setidak-tidaknya seperti berikut ini. Apakah pengalihan kekuasaan dari Presiden Sukarno ke Presiden Suharto legal atau sebaliknya telah terjadi perebutan kekusaan ? Penemuan naskah asli akan menjawab secara terang benderang terhadap pertanyaan ini. Selama dokumen Supersemar yang asli tidak ditemukan, kontroversi seputar pengalihan kukusaan akan tetap terjadi, dan merupakan halaman hitam dalam buku sejarah Indonesia.
Kenyataannya kontroversi memang akan terus berlangsung dan menjadi bagian buram (gelap) dalam sejarah bangsa kita. Karena tokoh-tokoh penting yang bersangkutan dengan Supersemar tidak pernah mau mengungkap secara lugas (jujur) tentang keberadaan naskah asli Supersemar. Kini tokoh-tokoh penting tersebut telah meninggal dunia. Misteri pun tak terjawab. Apakah hilangnya dokumen asli Supersemar memang disengaja ? Entahlah, hanya orang-orang yang terlibat langsung di dalamnya yang mengetahui jawabannya.
Tetapi yang jelas, memang sejarah suatu bangsa tidak pernah seratus persen obyektif. Unsur-unsur subyektif sudah pasti akan ikut mewarnai di dalam penulisannya. Munculnya subyektifitas dalam penyusunan sejarah, dilatarbelakangi oleh kepentingan-kepentingan tertentu. Walaupun demikian, dalam buku sejarah harus ditulis (dicantumkan) bahwa naskah Supersemar yang asli belum diketahui. Guru dalam membelajarkan (mengajarkan) materi tetang Supersemar di sekolah, harus jujur mengatakan bahwa pengalihan kekusaan presiden dari Soekarno ke Suharto kejadian persisnya belum diketahui, masih menggunakan versi dokumen Supersemar yang tidak asli. Sehingga tidak terjadi kontroversi di antara peseserta didik secara berlarut-larut (berkepanjangan), tidak terkendali dalam proses pembelajaran, yang justeru dapat membingungkan peserta didik secara berlebihan.
Jerowaru Lombok Timur, 4 Maret 2013.
Supersemar merupakan bagian sejarah yang sangat penting, baik untuk memperjelas tentang peristiwa G-30-S/PKI maupun untuk membuktikan tentang pengalihan kekuasaan presiden yang terjadi pada saat itu. Tapi sayangnya, asli dari dokumen Supersemar yang bersejarah itu hingga kini tidak diketahui keberadaannya. Di sinilah sisi gelap dari ke dua peristiwa tersebut.
Oleh karena naskah aslinya belum ditemukan, maka muncul pertanyaan mendasar, setidak-tidaknya seperti berikut ini. Apakah pengalihan kekuasaan dari Presiden Sukarno ke Presiden Suharto legal atau sebaliknya telah terjadi perebutan kekusaan ? Penemuan naskah asli akan menjawab secara terang benderang terhadap pertanyaan ini. Selama dokumen Supersemar yang asli tidak ditemukan, kontroversi seputar pengalihan kukusaan akan tetap terjadi, dan merupakan halaman hitam dalam buku sejarah Indonesia.
Kenyataannya kontroversi memang akan terus berlangsung dan menjadi bagian buram (gelap) dalam sejarah bangsa kita. Karena tokoh-tokoh penting yang bersangkutan dengan Supersemar tidak pernah mau mengungkap secara lugas (jujur) tentang keberadaan naskah asli Supersemar. Kini tokoh-tokoh penting tersebut telah meninggal dunia. Misteri pun tak terjawab. Apakah hilangnya dokumen asli Supersemar memang disengaja ? Entahlah, hanya orang-orang yang terlibat langsung di dalamnya yang mengetahui jawabannya.
Tetapi yang jelas, memang sejarah suatu bangsa tidak pernah seratus persen obyektif. Unsur-unsur subyektif sudah pasti akan ikut mewarnai di dalam penulisannya. Munculnya subyektifitas dalam penyusunan sejarah, dilatarbelakangi oleh kepentingan-kepentingan tertentu. Walaupun demikian, dalam buku sejarah harus ditulis (dicantumkan) bahwa naskah Supersemar yang asli belum diketahui. Guru dalam membelajarkan (mengajarkan) materi tetang Supersemar di sekolah, harus jujur mengatakan bahwa pengalihan kekusaan presiden dari Soekarno ke Suharto kejadian persisnya belum diketahui, masih menggunakan versi dokumen Supersemar yang tidak asli. Sehingga tidak terjadi kontroversi di antara peseserta didik secara berlarut-larut (berkepanjangan), tidak terkendali dalam proses pembelajaran, yang justeru dapat membingungkan peserta didik secara berlebihan.
Jerowaru Lombok Timur, 4 Maret 2013.
0 komentar "Sisi Gelap Sejarah Indonesia", Baca atau Masukkan Komentar
Posting Komentar