FITRAH DAN SYAHWAT MENURUT AL-QUR'AN

Ditulis oleh: -
FITRAH

Dari segi bahasa, kata “fitrah” (fathara) mempunyai arti belahan, muncul kejadian dan penciptaan. Jika disebut fitrah manusia, maka yang dimaksud adalah “apa yang menjadi kejadiannya atau bawaannya sejak lahir."

Dalam al-Qur’an, kata fitrah dengan berbagai bentuknya disebut sebanyak dua puluh kali, empat belas kali diantaranya dalam konteks uraian tentang bumi dan langit, sisanya disebut dalam konteks pembicaraan tentang manusia, baik berhubungan dengan fitrah penciptaan maupun fitrah keberagaman yang dimilikinya.

Fitrah keagamaan misalnya, disebutkan dalam surat ar-rum sebagai berikut:
" Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. " (QS. 30: 30).

Dalam surat di atas disebutkan bahwa sejak asal kejadiannya manusia telah diciptakan membawa fitrah (potensi) keberagamaan yang benar (hanif atau tauhid ), ia tidak bisa menghindar (la tabdila), walaupun ia mengabaikan atau tidak mengakuinya.
Berbeda dengan teologi Kristen yang menempatkan manusia sebagai makhluk yang fitrahnya rendah sebagai makhluk yang berdosa (dosa asal), menurut al-Qur’an manusia mempunyai potensi positif lebih besar dibanding potensi negatif. Jadi dalam perspektif al-qur’an pada dasarnya manusia adalah mulia dan positif

Dalam surat al-Baqarah aat 266 disebutkan :
Kata kasabat merujuk kepada usaha baik, yang dalam bahasa Arab digunakan untuk menggambarkan pekerjaan yang dilakukan dengan mudah. Sedangkan kata iktasabat merujuk kepada hal-hal yang lebih sulit dan berat. Jadi ayat ini mengisyaratkan bahwa pada dasarnya fitrah manusia itu lebih cenderung kepada kebaikan, dan disuruh untuk melakukan keburukan maka sebenarnya ia harus bersusah payah melawan fitrah dirinya, melawan hati nuraninya.

Dalam kaitannya dengan perilaku, meskipun pada dasarnya manusia itu memiliki fitrah positif, tetapi daya tarik keburukan lebih kuat dibanding daya panggil kebaikan, maka disinilah sebenarnya medan perjuangan dakwah, yakni menciptakan iklim agar hati nurani manusia terjaga sehingga potensi positifnya yang berfungsi sambil menekan pengaruh keburukan.

Termasuk ke dalam fitrah ciptaan Allah ialah bahwa manusia itu juga memiliki syahwat atau keinginan yang mempengaruhi perilakunya.

SYAHWAT

Kalimat syahwat disebut al-Qur’an dalam bentuk mufrad sebanyak dua kali (QS. Al-Naml: 55), berhubungan dengan syahwat seksual, dan tiga kali dalam bentuk jamak. Pada surat an-Nisa’ ayat 27, ungkapan syahwat berhubungan dengan pikiran-pikiran tertentu, yakni mengikuti pikiran orang karena menuruti hawa nafsu, sedangkan dalam surat Ali Imran ayat 14 dan Maryam ayat 59, ungkapan syahwat dihubungkan dengan keinginan manusia terhadap kelezatan dan kesenangan.

Secara lughawi, Syahwat artinya menyukai dan menyenangkan ( syahiya, syaha-yasha atau syahwatan), sedangkan maknanya adalah kecenderungan jiwa terhadap apa yang dikehendakinya (nuzu’an nafsi ila ma turiduhu). Dalam Al-Qur’an, kata syahwat terkadang dimaksudkan untuk obyek yang diinginkan, di ayat lain dimaksudkan untuk menyebutkan potensi keinginan manusia, sebagaimana yang disebutkan oleh ayat berikut:

Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).(QS. Ali Imran: 14)

Ayat tersebut di atas menyebut syahwat sebagai potensi keinginan manusia, yakni pada dasarnya manusia menyukai terhadap wanita (seksual), anak-anak (kebanggaan), harta kekayaan atau benda berharga (kebanggaan, kenyamanan, kesenangan), binatang ternak (kesenangan, kemanfaatan) dan sawah ladang (kesenangan, kemanfaatan) jadi kecenderungan manusia terhadap seksual, harta benda dan kenyamanan dalam pandangan al-Qur’an adalah manusiawi.

Kecenderungan syahwati manusia, jika dihubungkan dengan psikologi dakwah, maka contohnya adalah sebagai berikut: jika seorang mubaligh dihadapkan pada dua pilihan, undangan tabligh yang pertama menjanjikan uang transport Rp. 50.000,- dan undangan kedua menjanjikan honorarium Rp. 500.000,- maka sangat manusiawi jika mubaligh tersebut tergoda untuk membatalkan undangan pertama dan mengejar yang kedua, meskipun boleh jadi kehadirannya di kelompok undangan pertama lebih penting dilihat dari sudut kepentingan dakwah. Akan tetapi jika pilihannya antara uang Rp. 500.000,- dengan gadis cantik yang dia harap dapat jadi istrinya, maka dorongan untuk uang mungkin terkalahkan.

Jadi pilihan-pilihan yang dilakukan oleh seorang da’i atas hal-hal yang sifatnya memuaskan syahwat adalah manusiawi belaka. Oleh karena itu tidak dapat dibenarkan melongarkan ketentuan hukum agama dengan dalil imannya kuat, misalnya; membolehkan seorang gadis tidur sekamar dengan seorang ulama yang bukan muhrim dengan asumsi bahwa ulama dan da’i yang imannya kuat itu tidak mungkin melakukan perbuatan terlarang. Karena beliau mengerti dosa. Demikian juga tidak dapat dibenarkan memberi kepercayaan kepada da’i untuk mengelola dana masyarakat tanpa sistem pengawasan dengan alasan bahwa orang yang beriman itu tidak mungkin berbuat korupsi.

Dalam hal syahwati, baik yang menyangkut seksual maupun harta, semua manusia memiliki potensi untuk berperilaku menyimpang meski kadarnya berbeda. Memang iman dapat menjadi benteng dari godaan syahwat, tetapi benteng juga dapat roboh. Serangan bertubi-tubi dan dorongan syahwat dapat merobohkan benteng keimanan seseorang. Memang, kecenderungan positif manusia lebih besar, tetapi daya tarik syahwati lebih kuat dibanding ajakan kebaikan. Kata Nabi Saw. Iman itu sifatnya pasang surut, al’imanu yazidu wayangqush. Banyak hadist dan kisah sufi yang menceritakan seorang pendeta terjerumus pada lingkaran dosa perzinahan, seorang ahli ibadah tergoda oleh urusan harta dan sebagainya.

Dalam membangun sumber daya manusia dalam sebuah lembaga, misalnya, harapan kenaikan kesejahteraan (gaji, honor, atau tunjangan) yang dijanjikan oleh direksi atau rektor, misalnya. Lebih efektif dalam menaikan tingkat disiplin dan dedikasi karyawan (dan dosen) dibanding iming-iming pahala, meskipun lembaga itu lembaga keagamaan (UIA misalnya). Jika mahasiswa UIA lebih tertarik menghadiri pengajian di kampus yang dekat, secara psikologis hal itu adalah wajar-wajar saja.

0 komentar "FITRAH DAN SYAHWAT MENURUT AL-QUR'AN", Baca atau Masukkan Komentar

Posting Komentar