Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Jawa Barat (Jabar) dan Sumatera Utara (Sumut) merupakan tempat bercermin yang sangat baik bagi partai-partai besar. Di kedua provinsi itu justeru yang menelan rasa kecewa dengan hasil Pilkada adalah partai-partai besar, seperti Demokrat, Golkar, dan PDI-P. Jago yang diusung oleh partai-partai besar tersebut, keok oleh jago partai kecil, PKS, Hanura dan partai kecil lainnya.
Kekalahan pasangan yang disusung oleh partai-partai besar dalam Pilkada di Jabar memang sudah pasti, karena sudah diumumkan oleh KPU Jabar walaupun masih ada kemungkinan akan digugat. Sedangkan dalam Pemilukada Sumut kekalahan pasangan yang diadu oleh partai-partai besar, memang masih belum resmi, baru mengikuti data (hasil) quick qount lembaga survey. Tetapi dari hasil quick qount tersebut (walaupun belum resmi, bersifat sementara), dapat diketahui bahwa jago yang diusung partai-partai kecil menang dalam satu putaran, seperti dalam Pilkada Jabar.
Bercermin dari hasil Pilkada di Jabar dan Sumut itu, kemudian dapat diketahui bahwa PDI-P tidak mampu mengulangi suksesnya sebagai pemenang seperti pada Pilkada DKI Jakarta. Sementara Partai Demokrat dan Golkar lebih tragis lagi, kalah telak 0-3 atas lawan-lawannya. Kedua partai ini, kalah dalam Pilkada DKI Jakarta, Jabar, dan akan menyusul dalam Pilkada Sumut.
Pelajaran berharga bisa di ambil dari Pilkada yang pernah berlangsung di Jabar dan Sumut itu, setidaknya antara lain : (1) pasangan calon yang diusung oleh partai-partai besar, kalah dengan pasangan calon yang dijagokan oleh partai-partai kecil; (2) “sosok” (kandidat) yang dijagokan oleh partai-parti kecil, lebih unggul bila dibandingkan dengan sosok yang diadu oleh partai-partai besar; dan (3) mesin politik (taktik kampanye) pasangan calon yang didukung oleh partai-partai kecil, lebih efektif (mengena) dari pada pasangan calon yang dijagokan oleh partai-partai besar.
Kemenangan dalam Pilkada Jabar dan Sumut (juga beberapa Pilkada lain, seperti DKI Jakarta, dan lainnya), jelas sekali yang dipilih rakyat adalah sosok alias kandidat itu sendiri. Siapa sosok yang dimajukan partai, itulah yang dipilih rakyat. Kelebihan-kelibihan (positif) dari kandidat yang “dijual” dalam kampanye, yang dikemas dengan strategi dan metode yang mengena. Sehingga, jika rakyat menilai orang yang akan memimpinnya adalah orang yang dianggap berhasil, mampu berbuat adil dan mensejahterakan, serta dapat dipercaya, jujur, merakyat, ogah korupsi, maka rakyat akan memberikan suaranya untuk orang itu. Tapi jika sosok itu adalah manusia yang hanya ‘hebat’ di mata partai atau hanya “hebat” dari “kulit luarnya” semata (dianggap tidak sesuai antara yang disampaikan dengan kenyataan yang ada), justeru akan ditinggal oleh rakyat (pemilih), bahkan oleh kader partainya sendiri atau kader partai pengusung. Salah dalam memilih sosok yang dijagokan dalam Pilkada, yang tidak sesuai dengan keinginan rakyat inilah yang akan merugikan partai itu sendiri.
Jerowaru Lombok Timur, 8 Maret 2013.
Kekalahan pasangan yang disusung oleh partai-partai besar dalam Pilkada di Jabar memang sudah pasti, karena sudah diumumkan oleh KPU Jabar walaupun masih ada kemungkinan akan digugat. Sedangkan dalam Pemilukada Sumut kekalahan pasangan yang diadu oleh partai-partai besar, memang masih belum resmi, baru mengikuti data (hasil) quick qount lembaga survey. Tetapi dari hasil quick qount tersebut (walaupun belum resmi, bersifat sementara), dapat diketahui bahwa jago yang diusung partai-partai kecil menang dalam satu putaran, seperti dalam Pilkada Jabar.
Bercermin dari hasil Pilkada di Jabar dan Sumut itu, kemudian dapat diketahui bahwa PDI-P tidak mampu mengulangi suksesnya sebagai pemenang seperti pada Pilkada DKI Jakarta. Sementara Partai Demokrat dan Golkar lebih tragis lagi, kalah telak 0-3 atas lawan-lawannya. Kedua partai ini, kalah dalam Pilkada DKI Jakarta, Jabar, dan akan menyusul dalam Pilkada Sumut.
Pelajaran berharga bisa di ambil dari Pilkada yang pernah berlangsung di Jabar dan Sumut itu, setidaknya antara lain : (1) pasangan calon yang diusung oleh partai-partai besar, kalah dengan pasangan calon yang dijagokan oleh partai-partai kecil; (2) “sosok” (kandidat) yang dijagokan oleh partai-parti kecil, lebih unggul bila dibandingkan dengan sosok yang diadu oleh partai-partai besar; dan (3) mesin politik (taktik kampanye) pasangan calon yang didukung oleh partai-partai kecil, lebih efektif (mengena) dari pada pasangan calon yang dijagokan oleh partai-partai besar.
Kemenangan dalam Pilkada Jabar dan Sumut (juga beberapa Pilkada lain, seperti DKI Jakarta, dan lainnya), jelas sekali yang dipilih rakyat adalah sosok alias kandidat itu sendiri. Siapa sosok yang dimajukan partai, itulah yang dipilih rakyat. Kelebihan-kelibihan (positif) dari kandidat yang “dijual” dalam kampanye, yang dikemas dengan strategi dan metode yang mengena. Sehingga, jika rakyat menilai orang yang akan memimpinnya adalah orang yang dianggap berhasil, mampu berbuat adil dan mensejahterakan, serta dapat dipercaya, jujur, merakyat, ogah korupsi, maka rakyat akan memberikan suaranya untuk orang itu. Tapi jika sosok itu adalah manusia yang hanya ‘hebat’ di mata partai atau hanya “hebat” dari “kulit luarnya” semata (dianggap tidak sesuai antara yang disampaikan dengan kenyataan yang ada), justeru akan ditinggal oleh rakyat (pemilih), bahkan oleh kader partainya sendiri atau kader partai pengusung. Salah dalam memilih sosok yang dijagokan dalam Pilkada, yang tidak sesuai dengan keinginan rakyat inilah yang akan merugikan partai itu sendiri.
Jerowaru Lombok Timur, 8 Maret 2013.
0 komentar "Pelajaran Berharga dari Pilkada Jabar dan Sumut untuk Partai Besar", Baca atau Masukkan Komentar
Posting Komentar