Menyikapi Kritik Presiden tentang Guru

Ditulis oleh: -
Pada peringatan Hari Guru Nasional dan Hari Ulang Tahun (HUT) PGRI ke-66 tahun 2011 di Sentul Internasional Convention Center (SICC), yang dilaksanakan kemarin, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) melontarkan beberapa kritikan (koreksi) kepada guru. Dalam kesempatan itu, SBY melontarkan tiga hal sebagai koreksinya terhadap pelaksanaan tugas dan fungsi (kinerja) guru, sebagaimana dimuat di harian koran Lombok Post, 1 Desember 2011, yaitu : 1) sebagian guru yang telah lulus sertifikasi tidak ada peningkatan kenerjanya, belum banyak berubah; 2) para guru diharapkan memiliki kesadaran, keperdulian, dan tanggung jawab terhadap sekolahnya, sehingga lebih tertib dan dan teratur. Dengan demikian lingkungan pendidikan menjadi bagian character building; dan 3) masih ada guru yang belum benar-benar menjadi panutan. Kritik dari presiden tersebut, berdasarkan fakta di lapangan merupakan kenyataan yang tidak terbantahkan. Kenyataan itu menggambarkan profesi guru yang belum sepenuhnya dapat terlaksana sesuai tuntutan kompetensi guru yang dipersyaratkan. Dengan kata lain, belum semua guru dapat melaksanakan tugas dan fungsinya secara profesional. Kritikan yang merupakan kenyataan tersebut, harus disikapi dan dijawab secara positif oleh para guru, sehingga kinerja dapat berubah kearah yang lebih baik, terjadi peningkatan. Perubahan-perubahan positif yang terjadi secara terus-menerus akan melahirkan sosok guru profesional yang diharapkan. Dengan adanya tunjangan profesi berarti terjadi peningkatan kesejahteraan yang diperoleh oleh guru. Kesejahteraan yang diterima itu harus dimaknai secara tepat dalam rangka menunjang pelaksanaan tugas dan fungsinya secara profesional. Dengan kata lain, guru profesional akan lahir dari penerapan kebijakan sertifikasi yang diikuti dengan pemberian tunjangan profesi, apabila guru dapat memaknai tunjangan tersebut sebagai kesejahteraan dengan benar. Tunjangan profesi harus dimaknai bukan untuk menjadi kaya. Apa bila dimaknai untuk memperkaya diri, maka berapapun penghasilan yang diproleh oleh seorang guru, tetap akan dirasa kurang. Oleh karena orientasinya untuk menjadi kaya, bukan untuk menunjang pelaksanaan tugas dan fungsi profesi keguruannya atau peningkatan kualitas keprofesionalannya, menyebabkan guru profesional sulit terwujud. Penambahan pendapatan yang diperoleh guru melalui program sertifikasi, sesungguhnya dimaksudkan untuk menunjang peningkatan profesionalisme keguruannya, bukan untuk menjadi modal dalam rangka memenuhi hasrat menjadi orang kaya. Dengan tunjangan profesi, guru dapat meningkatkan keprofesionalan lewat investasi modal intelektual, seperti membeli buku, langganan koran dan jurnal, membeli komputer atau laptop, langganan internet, melakukan penelitian dan menulis ilmiah. Dengan kata lain, program sertifikasi yang diikuti dengan penambahan penghasilan, dihajatkan agar guru termotivasi untuk terus melakukan pengembangan keprofesian berkelanjutan (PKB) atau belajar secara berkelanjutan dengan memakai aneka sumber belajar. Aspek ini yang juga menentukan lahirnya sosok guru profesional, tidak cukup hanya menyandang sertifikat pendidik. PKB merupakan tuntutan dan keharusan bagi profesi keguruan, sehingga keilmuan tetap terjaga, kualifikasi dan kompetensi dapat terus berkembang dan menyesuaikan diri dengan kemajuan atau perubahan yang ada. Guru profesional ditandai dengan kepribadiannya yang dapat digugu dan ditiru, atau menjadi idola dan sahabat bagi peserta didik. Dalam kepribadian seperti itu, tercermin adanya sikap guru yang memiliki disiplin dan rasa tanggung jawab yang tinggi dalam melaksanakan tugas dan fungsi profesi keguruannya. Disamping itu, menggambarkan pula sosok guru yang memiliki sikap mampu mengajar, membimbing dan mendidik peserta didiknya. Oleh karena itu, guru merupakan sumber inspirasi dan motivasi peserta didiknya. Sikap dan prilaku seorang guru sangat membekas dalam diri siswa, sehingga ucapan, karakter dan kepribadian guru menjadi cermin siswa. Pada konteks ini, guru dituntut mampu berkedudukan sebagai katalisator atau teladan, inspirator, motivator, dinamisator, dan evaluator. Dengan demikian guru memiliki kesadaran, keperdulian, dan tanggung jawab terhadap sekolahnya, sehingga lebih tertib dan dan teratur, atau mampu menciptakan lingkungan pendidikan menjadi bagian character building. Kepribadian (sikap dan prilaku) seperti di atas, yang mendorong seorang guru dapat menjadi panutan, baik di sekolah maupun di luar sekolah, lingkungan bermasyarakat. Sehingga kasus-kasus tindakan yang tidak terpuji atau melawan hukum yang dilakukan oleh oknum guru, dapat diminimalisir sekecil mungkin, bahkan tidak perlu terjadi lagi, baik di lingkungan sekolah maupun di lingkungan masyarakatnya. Dengan demikian, sikap dan prilaku guru tersebut, akan dapat menimbulkan resfek dari peserta didik, guru lainnya, pegawai dan masyarakat kepada seorang guru, berupa penghormatan dan pemulian martabat dan citra profesi guru. Ini berarti apabila setiap guru ingin dihormati, dimuliakan dan dihargai, maka hendaknya terlebih dahulu menegakkan martabat dan citra profesi keguruannya dalam diri masing-masing melalui sikap dan prilaku di atas. Semoga kita dapat menyikapi kritikan presiden tersebut dengan positif dengan melaksanakan langkah-langkah atau prinsip-prinsip di atas. Sehingga kita dapat menjadi guru profesional, yang merupakan harapan peserta didik, masyarakat dan negara. Selamat bertugas, dan mudah-mudahan sukses selalu. Jerowaru Lombok Timur, 1 Desember 2011.

0 komentar "Menyikapi Kritik Presiden tentang Guru", Baca atau Masukkan Komentar

Posting Komentar