Mengapa Kita tidak Belajar dari Sejarah ? : Tinjauan Atas Konflik Sosial di Nusa Tenggara Barat (NTB)

Ditulis oleh: -
Klik Untuk melihat
Provinsi NTB, yang masyarakatnya bersifat majemuk (pluralisme), sampai saat ini belum bisa terbebas dari konflik sosial (kerusuhan dan kekerasan). Daerah ini sarat dengan gejolak sosial. Provinsi yang merupakan wilayah dengan konflik yang cukup tinggi dan sangat variatif. Maraknya konflik yang terjadi merupakan hal yang ironis dan paradoks jika melihat identitas NTB sebagai daerah seribu masjid. Tempat ibadah yang menjadi simbol keramahan dan kedamaian masyarakat tidak mampu meredam perkelahian dan konflik yang berujung pada kekerasan. Masyarakat begitu cepat (mudah) terprofokasi, sehingga memicu terjadinya konflik komunal. Masih segar dalam ingatan kita tentang berbagai bentuk konflik (gejolak) sosial yang pernah terjadi di beberapa tempat di wilayah provinsi ini. Mulai dari kerusuhan antar kampung (desa), bentrok antara aparat dan masyarakat, konflik agraria, sampai dengan konflik yang berbau sara. Berbagai bentuk konflik sosial tersebut terkadang atau bahkan terulang kembali, baik di tempat yang sama maupun di wilayah (kampung, desa) yang lainnya dengan modus yang sama walaupun pelakunya berbeda. Terjadinya konflik-konflik sosial di daerah ini sempat menjadi headline berbagai media, baik bersekala lokal maupun nasional. Sehingga gemanya meluas, bahkan kerusuhan berbau sara tersebar ke hampir seluruh pelosok negeri. Bila kita cermati dan urai kembali, konflik komunal yang terjadi di daerah ini, dapat kita ketahui beberapa faktor penyebab yang menjadi pemicunya, antara lain : 1. Masalah personal yang melibatkan keluarga dan masyarakat setempat. Misalnya permusushan antar pemuda kampung atau desa, seperti tercermin dalam kasus-kasus kerusuhan yang pernah terjadi antar desa di Bima, Lombok Timur dan Lombok Tengah. 2. Masalah perbedaan faham (idiologi) keagamaan. Misalnya, yang banyak menjadi sorotan di tingkat lokal maupun nasional, adalah kasus Ahmadiyah di Gerung Lombok Barat. 3. Masalah penyebaran isu yang tidak sesuai dengan fakta atau belum terbukti kebenarannya. Misalnya merebaknya isu penculikan anak beberapa waktu yang lalu. Contoh lainnya, seperti kasus bentrok antara desa Godo dan Samili di Bima, yang berawal dari tersebarnya isu kematian seorang warga Godo karena di sihir oleh salah seorang warga Samili. Penyebaran isu sebagai faktor penyebab munculnya konflik sosial juga bisa kita peroleh dalam kerusuhan berbau sara yang baru-baru terjadi di Sumbawa (Selasa, 22 Januari 2013), yang bermula dari tersebarnya isu kekerasan melalui sms dan dari mulut ke mulut, yaitu isu tentang pemerkosaan dan kematian seorang mahasiswi yang dibunuh oleh pacarnya sendiri yang berbeda suku dan agama. 4. Masalah kebijakan pemerintah daerah yang tidak didukung oleh masyarakat setempat. Sehingga memicu terjadinya bentrok antara aparat dan warga masyarakat. Misalnya dalam kasus tragedi Treng Wilis di Lombok Timur. 5. Masalah agraria. Masalah ini hampir terjadi di seluruh wilayah NTB, yang juga memancing terjadinya bentrok antara warga masyarakat dan aparat. Contoh dalam masalah ini, yang banyak menyita perhatian berbagai pihak adalah kasus yang terjadi di Sekotong Lombok Barat, di Gili Terawangan Kabupaten Lombok Utara, dan kasus (kerusuhan) Sape (Lambu) di Bima. Dengan demikian konflik komunal di NTB sanga variatif dan sangat potensial terjadi, mulai dari persoalan personal, agama, etnis, suku, adat budaya, pengelolaan sumber daya alam, ekonomi dan politik. Sehingga, faktor penyebab terjadinya konflik komunal secara garis besar dapat dirumuskan sebagai akibat dari rendahnya pengetahuan agama masyarakat, lemahnya mental masyarakat, sifat dan sikap curiga (iri) dari satu kelompok atau suku (etnis) terhadap kelompok atau suku (etnis) yang lainnya (dekradasi sikap saling menghargai), faktor ekonomi dan politik serta lingkungan. Apabila tidak dapat diselesaikan dengan baik dan tepat, maka akan menjadi bom waktu yang sewaktu-waktu dapat kembali meledak dengan dahsat. Terjadinya berbagai bentuk tindak kekerasan itu apapun lalar belakang dan modus atau motifnya, jelas mengejutkan kita semua. Para pelaku telah menunjukkan identitas diri dan kelompoknya dengan cara yang tidak sepantasnya. Mempertontonkan ego yang melukai hakekat diri sebagai manusia dan hamba Allah (Tuhan). Mengiris rasa kemanusiaan. Merobek dan mencabik rasa persaudaraan, kebersamaan dan toleransi antar ummat beragama. Menodai semangat bhineka tunggal ika yang telah menjadi konsensus bersama. Mengikis nilai-nilai (norma-norma) hidup bermasyarakat, dan nilai-nilai kebangsaan (nasionalisme). Rentetan kejadian konflik sosial, bagaimana pun besar kecil dan ragamnya, secara langsung selalu menimbulkan akibat negatif. Bentrokan, kekejaman maupun kerusuhan yang terjadi antara individu dengan individu, suku dengan suku, golongan penganut agama yang satu dengan golongan penganut agama yang lain. Kesemuanya itu secara langsung dapat mengakibatkan terjadinya korban jiwa, materiil, spiritual, dan perasaan takut atau mencekam (tekanan psikologis), serta berkobarnya rasa kebencian dan dendam kesumat. Akibat lainnya, adalah semakin menguatkan opini daerah lain dan dunia luar, bahwa NTB sebagai daerah konflik. Opini berlebihan, jika tidak disikapi secara arif dan bijaksana, tentu akan merembet pada terhambatnya iklim investasi dan ekonomi di daerah ini. Maraknya kasus konflik sosial yang terjadi di NTB, menuntut kesadaran dan keberpihakan kita semua. Kita semua harus belajar kembali atas kejadian-kejadian tersebut. Setidaknya, pelajaran yang bisa kita petik dari konflik-konflik sosial yang terjadi di NTB adalah bahwa kita tidak bisa belajar dari sejarah dan tidak mampu memahami perbedaan sosial. Kekurangan dan kegagalan (ketidakmampuan) kita itu menyebabkan permusuhan, benterok dan kerusuhan selalu saja terjadi dan berulang kembali. Patut kita sadari dan pahami kembali, bahwa manusia dilahirkan ke dunia untuk mengemban amanah atau menjalankan misi kebaikan dan kedamaian, bukan untuk membuat permusuhan, kerusuhan, dan kerusakan. Tidak ada suku tertentu dilahirkan untuk memusuhi suku lainnya. Bahkan tidak pernah terungkap dalam doktrin ajaran agama mana pun di Indonesia yang secara absolut menanamkan permusuhan (kebencian) antar manusia atau antar etnik. Setiap agama mengajarkan tetang kebaikan dan kedamaian, persaudaraan (kebersamaan) dan keharmonisan. Para ulama (tuan guru, kiyai) dan tokoh-tokoh agama lainnya yang ada di daerah ini, dengan bercermin dari berbagai kasus kerusuhan yang telah terjadi, hendaknya mengevaluasi metode dakwah (ceramah) yang selama ini diterapkan. Dibutuhkan penyempurnaan pendekatan dalam berdakwah ke arah yang lebih mengena dengan realitas masyarakat. Disamping itu, ditinjau dari sisi penentu kebijakan, terjadinya berbagai bentuk konflik sosial merupakan cermin lemahnya perhatian pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Pemerintah dituntut untuk mampu memberikan perhatian secara optimal, adil dan merata kepada seluruh masyarakat. Selain itu hendaknya, kebijakan-kebijakan pemerintah yang langsung berhubungan dengan masyarakat, dilakukan sosialisasi secara tepat dan mendalam. Sehingga tidak menjadi pemicu timbulnya gejolak di masyarakat. Aparat keamanan (penegak hukum), juga dituntut untuk betul-betul mampu memberi rasa aman kepada masyarakat. Fungsi dekteksi dini harus mampu dijalankan dan dikembangkan dengan baik untuk mengidentifikasi potensi kerusuhan. Fungsi komunikasi aparat dengan warga jangan pula dilupakan dan dijalankan dengan optimal dalam rangka mengklarifikasi isu sesat ataupun untuk menetralisir suasana. Pengamanan yang diberikan harus betul-betul otimal dan mengena. Proses penegakan hukum harus mampu dilaksanakan secara tegas, transparan dan responsive. Sehingga masyarakat tidak merasa kecewa kepada aparat dalam proses penegakan hukum. Ketidakpercayaan (kekecewaan) masyarakat merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya berbagai aksi kekerasan, kerusuhan, bentrok antar kampung dan lainnya. Kalau aparat kemanan bisa menangani persoalan terorisme dengan cekatan dan tegas, masak tidak mampu mencegah dan menanggulangi terjadinya konflik komunal di masyarakat dengan baik. Dengan demikian, tidak perlu ada ungkapan di media, bahwa aparat dan pemerintah terkesan membiarkan terjadinya kasus-kasus kerusuhan di masyarakat. Konflik komunal yang terjadi secara berulang di wilayah NTB, menantang para pakar (ahli) antropologi dan sosiologi untuk melakukan penelitian secara lebih mendalam dan tajam. Dengan begitu dapat diketahui akar persoalan yang sesungguhnya, dan mampu memberikan solusi yang tepat (komprehensif) dalam mencegah atau menanganinya, yang dapat dipedomani oleh pemerintah dan aparat dalam merumuskan (menetapkan) kebijakan dan tindakan (aksi). Keterlibatan lembaga pendidikan tidak kalah pentingnya untuk membantu mencegah terulangnya kembali konflik-konflik komunal di masa depan. Institusi pendidikan memiliki peran dan tanggung jawab besar untuk mampu menumbuhkan kesadaran akan perbedaan, kebersamaan, persaudaraan, dan kedamaian (keharmonisan) dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara sejak awal, sejak dini pada gemerasi baru. Institusi pendidikan dituntut untuk mampu menyiapkan generasi yang berkarakter positif. Dengan demikian untuk dapat mencegah dan menangani konflik komunal di daerah ini, dibutuhkan pendekatan secara hukum, pendekatan sosio-kultural, dan antisipasi dengan melakukan penelitian, serta penyiapan generasi muda yang berkarakter melalui pendidikan. Upaya ini harus dilakukan secara terpadu, pihak-pihak yang berkepentingan (pemerintah, aparat keamanan, tokoh agama dan tokoh masyarakat, para ahli, institusi pendidikan, dan lain-lainnya) tidak melakukannya secara terpisah. Masyarakat saat ini sedang tergerus oleh zaman sehingga diperlukan instrumen untuk mengatur irama masyarakat akar rumput. Masyarakat pada umumnya membutuhkan relaksasi sosial dan pemerintah perlu memfasilitasinya dengan melibatkan pihak-pihak lain yang berkepentingan di dalamnya. Singkatnya, dibutuhkan adanya suatu sistem penanganan konflik yang integral dan terpadu. Marilah kita semua belajar dari sejarah dan memahami perbedaan sosial yang ada di masyarakat, berbangsa dan bernegara. Sehingga tidak terulang lagi kasus yang sama di masa yang akan datang. Damailah daerah ku, damailah negeri ku. Amin. Jerowaru, 28 Januari 2013. Sumber Bacaan : Berita media onlaine yang diakses pada tanggal, 27 Januari 2013. 1. Antara, 2013. Mahfud: Kerusuhan Sumbawa Terkait Lemahnya Penegakan Hukum. http://id.berita.yahoo.com/mahfud-kerusuhan-sumbawa-terkait-lemahnya-penegakan-hukum-060429516.html. 2. Forumwikwnntb.blogspot.com, 2011. Mengurai Sejuta Konflik di Negeri Seribu Masjid. http://forumwiken-ntb.blogspot.com/2011/12/mengurai-sejuta-konflik-di-negeri.html. 3. Jpnn.com, 2013. Konflik Sumbawa, Fungsi Dekteksi Dini Mati. http://www.jpnn.com/index.php?mib=berita.detail&id=155510. 4. Kompas.com, 2013. Rusuh Sumbawa, Kesalahan yang Berulang. http://nasional.kompas.com/read/2013/01/22/21462023/Rusuh.Sumbawa.Kesalahan.yang.Berulang. 5. Korankampung.com, 2011. Konflik Masih Hantui NTB. http://korankampung.com/laporan-utama/konflik-masih-hantui-ntb/ 6. LombokKita.com, 2013. Selesaikan Konflik tidak Cukup dengan Himbauan. http://www.lombokita.com/kabar-lombok/975-selesaikan-konflik-tidak-cukup-dengan-himbauan#.UQT8Z4HH7IU 7. Mohamad Baihaqi, 2011. NTB dan Konflik Sosial, Fotret Kebodohan. http://mohamadbaihaqi.blogspot.com/2011/11/konflik-ntb.html. 8. Republika.co.id, 2013. Ini Komentar Para Pejabat Bali Soal Kerusuhan Sumbawa. http://www.republika.co.id/berita/nasional/daerah/13/01/25/mh6fxs-ini-komentar-para-pejabat-bali-soal-kerusuhan-sumbawa. 9. Ridwan HM Said, 2012. Bima Membara Lagi. http://formsurakartantb10.wordpress.com/2012. 10. Suara Publik, 2012. Lima Kasus Kekerasan Terparah di Indonesia. http://suarapublik.co.id/web/2012/12/27/lima-kasus-kekerasan-terparah-di-indonesia/. 11. Tempo.co, 2013. Rusuh Sumbawa, Tokoh Bali Lakukan Aksi Keprihatinan http://www.tempo.co/read/news/2013/01/25/058456942/Rusuh-Sumbawa-Tokoh-Bali-Lakukan-Aksi-Keprihatinan. 12. Tempo.co, 2013. Pemerintah Dinilai Membiarkan Kerusuhan Sumbawa. http://www.tempo.co/read/news/2013/01/26/058457072.

0 komentar "Mengapa Kita tidak Belajar dari Sejarah ? : Tinjauan Atas Konflik Sosial di Nusa Tenggara Barat (NTB)", Baca atau Masukkan Komentar

Posting Komentar