Sistem ekonomi kapitalis yang dianut dan berkembang pesat di negara-negara (dunia) barat telah memberi pengaruh yang begitu luas dan mendalam bagi kehidupan masyarakat di negara-negara (dunia) timur. Dampak yang dirasakan, baik yang bersifat positif maupun negatif, merambah ke segala aspek kehidupan. Kapitalisme begitu terasa melakat dalam kehidupan masyarakat dunia timur, termasuk di Indonesia. Begitu akrabnya, sehingga seoalah-olah manusia begitu sulit terlepas dari pengaruh tersebut. Mereka cenderung menampakkan ciri-ciri kehidupan kapitalisme, daripada tampil berdasarkan karakteristik hidup orang timur. Sistem ekonomi kapitalis tidak bisa terlepas dari pasar, bahkan merupakan elemen fundamental di dalamnya. Pasar digerakkan dengan uang. Lalu lintas uang sangat menentukan dalam sistem ekonomi kapitalisme. Sehingga uang memiliki tempat yang strategis. Posisi penting uang dalam sistem ekonomi tersebut, tercermin dari pendapat yang dikemukakan oleh Hartono (2007), berikut ini. Dalam kapitalisme, uang menempati posisi sebagai ekuivalen universal. Uang menjadi ekuivalen umum dalam masyarakat kapitalis karena uang mampu mengabstraksikan keinginan manusia dan memainkan peranan tanpa batas dalam kapitalisme. Dengan kata lain, orang bisa berbuat apa saja dengan uang. Selain mampu mengabstraksikan keinginan manusia, uang juga memiliki nilai partikular tertentu (nilai yang terkandung pada uang yang bisa diukurkan kepada benda). Nilai partikular dalam uang inilah yang membuat orang berusaha mendapatkan uang. Hal ini bisa disederhanakan sebagai berikut : saya menginginkan sebuah benda, tetapi benda tersebut hanus bisa saya miliki kalau saya memiliki uang yang mengandung nilai abstrak dan bisa ditukarkan dengan benda tersebut. Di sini, barang diabstraksikan dengan nilai beli uang. Berdasarkan paparan dari ahli tersebut, maka dapat dikatakan bahwa dalam masyarakat kapitalis dan masyarakat yang terpengaruh oleh kapitalisme, uang adalah segala-galanya, bisa mengatur atau menghasilkan apa saja yang diinginkan oleh manusia. Oleh karena itu, di dunia timur, termasuk Indonesia banyak orang yang mendewakan uang, sehingga, menurut Atmadja (2008), melahirkan moneytheisme dan era ini disebut zaman duit. Mengingat kondisi seperti itu, maka manusia semakin terdorong untuk menampakkan diri sebagai, meminjam istilah Sobur (2001), homo syimbolicum, yakni mahluk yang selalu berkomunikasi memakai simbol-simbol. Dimana simbol-simbol yang dipakai dalam berkomunikasi, misalnya berwujud benda-benda yang dipakai oleh manusia yang bersangkutan. Benda-benda yang dipakai oleh manusia itu, menurut Ibrahim (2007), pada dasarnya merupakan sarana komunikasi artifaktual untuk menunjukkan identitas sosial dan sekaligus membedakan dirinya pada orang lain. Bertolak dari argumentasi para pakar tersebut, maka sesungguhnya benda-benda yang dipakai oleh manusia, tidak saja bernilai guna tetapi juga bernilai simbolik. Nilai simbolik dari suatu benda adalah sebagai tanda untuk mengkomunikasikan dan mempertontonkan status sosial dan identitas dirinya pada orang lain. Nilai simbolik yang tergambar pada kehidupan manusia dan bermasyarakat seperti itu, berhubungan erat dengan modernitas. Keterkaitannya tercermin dari pendapat yang dikemukakan oleh Ibrahim (2004), berikut ini. Pada akhir modernitas semua yang kita miliki akan menjadi budaya tontonan (a culture of spectacle). Semua orang ingin menjadi penonton dan sekaligus ditonton. Ingin melihat tapi sekaligus juga dilihat. Di sinilah gaya mulai menjadi modus keberadaan manusia modern : Kamu bergaya kamu ada! Kalu kamu tidak bergaya, siap-siaplah untuk dianggap “tidak ada” : diremehkan, diabaikan, atau mungkin dilecehkan. Itulah sebabnya mungkin orang sekarang perlu bersolek atau berias diri. Jadilah kita menjadi “masyarakat pesolek” (dandy society). ….. Kini gaya hidup demikian bukan lagi monopoli artis, model, pragawan (wati), atau selebriti yang memang sengaja mempercantik diri untuk tampil di panggung. Tapi, gaya hidup golongan penganut dandysm itu kini sudah ditiru secara kreatif oleh masyarakat untuk tampil sehari-hari, ke tempat kerja, seminar, arisan, … Dengan demikian sistem ekonomi kapitalis yang menempatkan uang sebagai dewa, tidak saja telah mengikat dan mendorong manusia untuk lebih terlibat, serta lebih menampakkan diri dalam idiologi pasar, moneytheisme, dan homo (animal) syimbolicum, tetapi juga telah melahirkan budaya tontonan (ditonton dan menonton). Dimana melalui komunikasi dengan menggunakan suatu benda sebagai simbolnya (nilai simbolik, tanda), disamping untuk mempertontonkan identitas diri dan status sosial, juga dimaksudkan untuk memperoleh pujian dari orang lain yang melihat atau menontonnya, sehingga mendatangkan (melahirkan) rasa bangga dalam dirinya. Atau sebaliknya, apabila orang yang diajak berkomunikasi atau menontonnya melalui simbol-simbol yang diperlihatkan, meremehkan, mengabaikan atau melecehkannya, maka akan mendorong timbulnya rasa gengsi pada diri yang bersangkutan, yang berwujud pada adanya keinginan untuk berbuat atau tampil lebih lagi dari sebelumnya. Kondisi di atas berarti menggambarkan bahwa manusia memanfaatkan atau menggunakan sutau benda bukan berdasarkan nilai guna, tetapi ingin ditonton atau menonton (dilihat dan melihat), dalam rangka menunjukkan identitas dan status sosialnya untuk membangun citra diri lewat pujian dari orang lain (rasa bangga) dan rasa gengsinya. Kondisi inilah yang mendorong lahirnya gaya hidup modern atau “masyarakat pesolek”. Gejala dan keadaan yang merupakan bagian (ciri) dari modernitas tersebut, juga dialami oleh masyarakat Indonesia, karena mereka tidak luput dari pengaruh kapitalisme, bahkan sebagian dari mereka merupakan palaku aktif dalam gaya hidup seperti itu. Gaya hidup modern dan budaya tontonan, yang lahir sebagai akibat dari adanya pengaruh dan berkembang pesatnya kapitalisme, mendorong masyarakat Indonesia untuk mengkonsumsi dan terus mengkonsumsi barang-barang yang tersedia di pasar. Sebagian di antara mereka (kalau tidak seluruhnya), melakukan kegitan mengkonsumsi barang tersebut dalam rangka tetap menunjukkan (mempertahankan) identitas dan status sosialnya, sehingga citra dirinya tetap terjaga. Oleh karena itu mereka terjebak dalam konsumerisme. Sikap ketergantungan seperti ini akan terus mendorong terjadinya pemanfaatan penghasilan (pendapatan) diri sendiri atau keluarga untuk memperoleh suatu barang, yang tidak didasarkan atas pertimbangan kebutuhan atau nilai guna, melainkan untuk mempertontonkan identitas diri dan kelas sosialnya atau memperbaiki citra diri dalam masyarakatnya. Pada kondisi seperti ini, seseorang atau sekelompok orang tidak bisa membedakan antara nilai guna dan nilai simbolik sutau benda yang dikonsumsinya. Akibatnya, apabila barang yang hendak dibeli tidak terjangkau oleh penghasilannya, ada kemungkinan orang yang bersangkutan dan keluarganya berusaha memperoleh atau memenuhinya dengan cara berhutang, sehingga tercapai kepuasan secara optimal. Terjadinya sikap keteragantungan untuk terus mengkonsumsi suatu barang, membutikan bahwa hasrat (nafsu) tidak mampu dikendilikan oleh unsur-unsur keperibadian lainnya yang ada pada diri manusia. Menurut Sugiharto (2007), secara substansial manusia sebagai diri individu, terdiri dari tiga unsur sebagai satu kesatuan yang memiliki tendensi yang berbeda, yaitu tubuh, pikiran (akal budi) dan ruh. Atau mengacu pada pendapat Nurdin (2011), bahwa manusia adalah makhluk yang memiliki tiga dimensi, yaitu badan, akal dan ruh, dimana ketiganya saling berintraktif antara satu dengan yang lainnya. Pada unsur/dimensi tubuh (badan) terkandung hasrat. Dengan kata lain tubuh identik dengan hasrat. Dalam ajaran agama (Islam) hasrat sangat ditekankan untuk dikendalikan, sehingga tercapai kedamaian atau ketenangan dalam hidup. Tetapi dalam sistem ekonomi kapitalis sebaliknya, yakni hasrat dikembangbiakan dan dikomodifikasikan lewat pasar. Hal ini merujuk dari pendapat yang dikemukakan oleh Hartono (2007), bahwa hasrat merupakan sumber atau bahan mentah terbesar produk kapitalisme. Dengan kata lain, hasrat memiliki nilai surplus dalam dirinya. Nilai surplus inilah yang kemudian ditarik ke luar oleh kapitalisme dari rahim individu, dieksplorasi atau dideteritorialisasi, lalu dimodifikasi. Singkatnya, kapitalisme tidak bisa hidup tanpa hasrat. Hasrat dipancing keluar dengan produksi aneka barang secara melimpah, dan iklan di media komunikasi kebudayaan (TV), sehingga manusia menjadi tergantung, selalu merasa kekurangan dan berkeinginan terus untuk memenuhinya. Ketergantungan itu semakin menguat pada diri manusia dengan adanya fasilitas atau pusat-pusat perbelanjaan di kota-kota, seperti hypermarket, supermarket atau mall. Bahkan terdapat minimarket, toserda, dan waserda yang tidak saja ada di kota, tetapi merambah sampai pelosok desa. Keberadaan fasilitas perbelanjaan ini, semakin mempermudah pemenuhan hasrat manusia. Hal ini mengakibatkan pikiran dan ruh yang ada pada diri manusia tidak bisa mengatasi tubuh (hasrat). Pikiran dan ruh yang bertendensi menguasai hasrat lewat kearifan, justru sebaliknya dikuasai oleh hasrat. Ruh sebagai sumber spiritual mengalami pendangkalan. Sehingga, manusia menjadikan materi yang mampu memuasakan hasrat sebagai sesuatu yang utama. Budaya komoditas tumbuh pada diri manusia, dan sikap konsumtif sulit dibendung, baik menjadi pelaku langsung maupun dengan meniru dari orang lain yang ada dalam lingkungan masyarakatnya. Keadaan ini mencerminkan perubahan paradigma manusia dalam melihat eksistensi dirinya sendiri sebagai diri individu. Untuk mengurangi atau meminimalisir sikap mempertontonkan identitas dan status sosial diri manusia (rasa bangga, gengsi), serta sikap konsumerisme (hasrat) yang berlebihan sebagai akibat dari pengaruh kapitalisme dan modernis, setiap orang perlu kembali merujuk pada ajaran agama (Islam), dan memahami hakekat diri sebagai manusia. Dengan berpegang teguh pada agama atau memiliki keyakinan keagamaan (iman dan taqwa) yang kuat, hasrat yang ada pada diri akan dapat ditekan (dikendalikan). Hasrat (nafsu) keduniaan yang bersifat konsumtif dapat menghalangi atau mengurangi prinsip atau hakekat (makna) ibadah kepada Allah. Hakekat diri sebagai manusia merupakan pengakuan diri tentang kedudukannya sebagai hamba Allah, dan kedudukannya sebagai pribadi (individu) yang mandiri, bukan menjadi atau meniru orang lain. Dengan demikian setiap manusia sebagai individu diharapkan memiliki kecerdasan intelektual, emosional, sosial, dan spiritual dalam mejalankan hidup dan kehidupannya. Sehingga hidup menjadi bermakna (berkualitas), baik di dunia maupun kelak di akherat. DAFTAR PUSTAKA Atmadja, N.B. 2008. Bali pada Era Globalisasi Pulau Seribu Pura tidak Seindah Penampilannya. Yoyakarta : LKiS. Hartono, A. 2007. Deluze + Guattari Skizoanalisis Sebuah Pengantar Geneologi Hasrat. Yogyakarta : Jalasutra. Ibrahim, I.S. 2004. “Kata Pengantar ‘Kamu bergaya Maka Kamu Ada!’ : Masyarakat Pesolek dan Ladang Permainan Gaya Hidup”. Dalam D. Chaney, Life Styles Sebuah Pengantar Komprehensif. (Nuraeni Penerjemah). Yogyakarta : Jalasutra. Halaman 7-27. Ibrahim, I.S. 2007. “Pakaian Anda Menunjukkan Siapa Anda? Semiotika Fashion dan Pakaian sebagai Komunikasi Artifaktual”. Dalam M. Barnard, Fashion sebagai Komunikasi Cara Mengkomunikasikan Identitas, Seksual, Kelas, dan Gender. (Idi Sunady Ibrahim dan Yosal Iriantara Penerjemah). Yogyakarta : Jalasutra. Halaman v-xviii. Nurdin, Muhamad. 2010. Kiat Menjadi Guru Profesional. Yogyakarta : Ar-Ruzz Media. Sobur, A. 2001. Analisis Teks Media Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framig. Bandung : PT Remaja Rosdakarya. Sugiharto, B. 2007. “Posisi Ruh dalam Peradaban Kontemporer”. Dalam A. Adlin ed., Spiritualitas dan Realitas Kebudayaan Kontemporer. Yogyakarta : Jalasutra. Halaman 3-8.
Mempertontonkan Identitas dan Status Sosial di Bawah Kekuasaan dan Cengkeraman Kapitalisme
Ditulis oleh:
Admin - Jumat, 25 Januari 2013
0 komentar "Mempertontonkan Identitas dan Status Sosial di Bawah Kekuasaan dan Cengkeraman Kapitalisme", Baca atau Masukkan Komentar
Posting Komentar