Orang yang telah meninggal dunia ternyata mampu mendorong lahirnya nuansa kebersamaan dalam masyarakat. Nuansa kebersamaan yang muncul akan sangat tergantung pada prilaku orang yang bersangkutan semasa dia masih hidup. Hal seperti ini bisa ditemukan dalam kehidupan masyarakat di kampung saya, Jerowaru Kecamatan Jerowaru Kabupaten Lombok Timur Provinsi Nusa Tenggara Barat. Sebagaimana masyarakat pedesaan pada umumnya, masyarakat di Desa Jerowaru sangat memperhatikan pergaulan setiap orang pada masa hidupnya. Seseorang akan memiliki nilai dan perlakuan yang lebih dari masyarakat setempat ketika dia telah meninggal dunia apabila semasa hidupnya rajin beribadah, mampu membangun silaturrahim, pandai bergaul, terlibat aktif dalam kegiatan kemasyarakatan, sering terlihat/aktif terlibat (datang) dalam acara roah (syukuran) atau begawai (pesta) seseorang atau dalam satu keluarga, sering membantu orang yang membutuhkan, sering mengunjungi orang yang sakit, dan ikut dalam rangkaian kegiatan orang yang meninggal dunia. Nilai dan perlakuan lebih yang diterima dari seseorang yang meninggal dunia tersebut, tercermin dari banyaknya orang yang terlibat dalam rangkaian acara kematiannya. Seseorang yang ketika hidupnya menampakkan kesholehan peribadi (keagamaan) dan kesholehan sosial dalam kehidupan masyarakat, akan banyak warga masyarakat yang datang melayat ke rumahnya. Para ibu secara beramai-ramai datang belangar (melayat dengan membawa beras dan/atau uang), dan sebagian dari mereka ikut aktif membantu kelancaraan kegiatan memandikan jenazah, seperti menyediakan air. Laki-laki juga secara beramai-ramai dan bergotong royong datang ke rumah yang bersangkutan, di samping bertujuan untuk melayat juga aktif membantu menyiapkan kurung watang (keranda mayat/peti mati), dan ada yang secara sukarela menggali kubur (liang lahat) untuk si mayat. Kelebihan lain yang tergambar adalah ketika jenazah disholatkan di masjid desa setempat, banyak sekali warga masyarakat yang ikut mensholatkannya (terutama bagi orang yang rajin beribadah ketika hidupnya). Ramainya warga masyarakat juga tampak ketika mengantarkan (menguburkan) jenazah, dan ketiga menzikirkan (memberi syafaah) dari malam pertama sampai malam ke sembilan setelah meninggalnya. Dalam kedua rangkaian kegiatan ini, tidak saja laki-laki yang terlibat aktif, para ibu-ibu juga terlihat aktif, baik ikut mengantarkan jenazah maupun ketika menyaipan makanan ala kedar untuk orang-orang (laki-laki) yang datang zikir. Para ibu-ibu juga akan datang secara beramai-ramai membawa beras atau barang lainnya dan sebagian di antaranya membantu pekerjaan keluarga yang ditinggalkan, pada saat nelung, mituk dan nyiwak atau pada acara setelah tiga, tujuh dan sembilan hari meninggal dunia orang yang bersangkutan. Para laki-laki juga secara berramai-ramai ikut membantu pekerjaan pada acara dalam hari-hari tersebut. Keramaian seperti itu berlanjut sampai pada acara metang dase dan nyatus atau acara empat puluh hari dan seratus hari setelah meninggal dunia. Kondisi seperti di atas akan terlihat berbeda pada orang yang semasa hidupnya lebih suka mengasingkan diri dari pergaulan dengan masyarakat desanya, jarang mau berintraksi dengan masyarakat atau orang lain di lingkungannya, tidak suka membantu atau jarang terlibat dalam kegiatan bermasyarakat, lebih-lebih apabila yang bersangkutan tidak aktif beribadah. Suasana yang tidak begitu ramai atau agak sepi tampak dalam kegiatan atau acara yang mengiringi kematian orang yang memilki prilaku seperti itu semasa hidupnya. Sesungguhnya nilai dan perlakuan lebih yang diterima bagi seseorang yang telah meninggal dunia, tidak diukur dari betapa kaya atau miskinnya yang bersangkutan, tidak pula dipandang dari seberapa mampu menghidangkan makanan pada saat acara nelung, mituk, nyiwak, metang dase dan nyatus. Ukuran yang diapkai warga masyarakat adalah prilaku positif semasa yang bersangkutan masih hidup. Warga masyarakat tidak pernah mempermasalahkan apabila dalam rangkaian kegiatan perlakuan terhadap jenazah atau dalam acara-acara seperti di atas, keluarganya yang masih hidup hanya mampu menghidangkan salah satu dari jenis hidangan berikut : air putih, teh manis, kopi, kerupuk, jajan atau makanan seadanya saja. Meraka sangat paham kalau keluarga yang tersebut tidak mampu meyiapkan nasi yang berlaukan daging. Mereka tidak memandang itu, tetapi mereka melihat perbuatan baik yang pernah dilakukan oleh seseorang yang telah meninggal pada masa hidupnya. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa orang yang telah meninggal dunia dapat mendorong terjalinnya kebersamaan dalam kehidupan bermasyarakat, baik untuk diri orang yang meninggal tersebut maupun untuk keluarga yang ditinggalkannya. Jalinan rasa kebersamaan, yang tergambar dalam bentuk saling tolong-menolong (bergotong-royong) dan saling memberi syafaah, akan timbul secara lebih bermakna dan meluas dalam kehidupan bermasyarakat apabila semasa hidup orang yang bersangkutan mampu menampakkan sifat-sifat (prilaku) kesholehan peribadi (keagamaan) dan kesholehan sosial.
Belajar Kebersamaan dari Orang Mati
Ditulis oleh:
Admin - Jumat, 25 Januari 2013
0 komentar "Belajar Kebersamaan dari Orang Mati", Baca atau Masukkan Komentar
Posting Komentar