Doa, Untuk Apa?

Ditulis oleh: -
Sejak alam barzah, manusia sudah didesain oleh Sang Pencipta sebagai makhluk yang mengakui adanya Alloh SWT Yang Maha Kuasa. (Q/7:172). Oleh karena itu naluri manusia cenderung mencari perlindungan kepada Yang Maha Kuat, terutama ketika sedang merasa terancam. Bukan hanya orang beragama, orang atheis pun ketika melepas prajuritnya ke medan perang, mereka mengucapkan “Semoga kalian menang”. Kalimat semoga adalah ungkapan religius, ungkapan doa, yakni mengharap campur tangan kekuatan gaib yang diyakini lebih besar dibanding kekuatan manusia.

Dalam perspektif way of life seorang muslim, kehadiran manusia di muka bumi diberi status sebagai khalifah Alloh, sebagai wakil Allah yang diberi amanat untuk menegakkan kebenaran dalam kehidupan manusia untuk mencapai ridla Allah sebagai tujuan hidupnya. Untuk mencapai tujuan itu manusia diberi alat hidup, yaitu dirinya, fisik maupun psikis, dan harta atau alam yang memang disediakan Alloh SWT sebagai fasilitas. Dengan potensi itu manusia menjadi “makhluk” yang paling besar peluangnya untuk menjadi yang “terhebat” di muka bumi.

Akan tetapi di sisi lain, manusia juga diberi status oleh Allah sebagai `abdun, sebagai hamba, yang memiliki serba keterbatasan, dan Allah tidaklah menciptakan manusia kecuali agar mereka mengakui dirinya sebagai `abdun, yang harus meng abdi, atau beribadah, menyembah kepada Sang Pencipta (Q/51:56). Inilah status kembar manusia di hadapan Alloh SWT. Di satu sisi manusia adalah besar, memiliki tanggung jawab dan kewenangan yang besar, karena menjadi wakil dari Alloh SWT yang Maha Besar. Di sisi lain manusia adalah kecil, karena ia tak lebih hanyalah seorang hamba yang lemah, terbatas dan hidupnya sangat bergantung kepada berbagai faktor.

Manusia akan menjadi kuat apabila ia menempel kepada kekuasaan Alloh SWT Yang Maha Kuat. Ia selalu berkata bahwa tiada daya dan kekuatan yang efektif tanpa seizin Allah yang Maha Agung, La haula wala quwwata illa billah al `Aliyy al `Azim. Sebaliknya manusia akan diperdaya dan dipermainkan oleh perbuatan sendiri yang menipu, jika ia jauh dari ridla dan rahmat Allah. Allah akan mengangkat martabat manusia yang rendah hati, dan akan menjatuhkan ke dalam kehinaan terhadap manusia yang menyombongkan diri. Di sinilah medan seni antara usaha dan doa.

Di satu sisi, Al Qur’an banyak sekali memerintahkan manusia agar bekerja dan berusaha, tetapi di sisi lain Al Qur’an juga memerintahkan agar orang bertawakkal (berpasrah diri kepada Allah) atas hasil dari pekerjaan dan usahanya. Disamping menyuruh bekerja, Al Qur’an juga menyuruh untuk berdoa kepada Allah, disertai jaminan bahwa Allah akan mengabulkan doa manusia (Q/40:60), karena Allah memang mendengarkan doa-doa hambanya (Q/14:39). Kata Nabi, doa adalah sumsumnya ibadah.

Dalam realita kehidupan, sebagaimana yang sedang melanda bangsa Indonesia dewasa ini, bisa terjadi, banyaknya tentara tidak menjamin ketahanan nasional, banyaknya polisi tidak menjamin keamanan, banyaknya sumberdaya alam tidak menjamin kemakmuran, banyaknya orang pandai tidak menjamin keberhasilan. Dalam perspektif tasauf bahkan dikatakan, penentu keberhasilan pembangunan suatu bangsa bukan ditentukan oleh unsur-unsur bangsa tersebut diatas, tetapi oleh doa seorang hamba yang dekat dengan Alloh SWT.

Kata sebuah hadis, bahwa di muka bumi ini ada beberapa orang yang performennya “kumuh”, tidak memiliki status sosial, tetapi jika ia sudah menengadahkan tangannya kepada Alloh SWT, maka doanya itulah yang signifikan menyelesaikan masalah bangsa, bukan oleh elit-elit bangsa (in aqsama `alallah la abarrahu). Siapakah orang itu? Kata hadis tersebut, dia adalah orang baik yang takwa, tetapi ia menyembunyikan identitas sebenarnya. Jika dia berada di dekat kita, tak seorangpun yang mengenalnya, tetapi jika ia tidak ada, maka ia selalu dicari-cari.

Fenomena politik Indonesia mengenal ada doa politik, ada istighotsah kubra dan doa-doa massal lainnya, yang tujuannya mencari solusi spiritual atas problem bangsa yang rumit. Mengapa doa-doa tersebut sepertinya tak didengar Alloh SWT? Inilah yang harus menjadi renungan kita bersama-sama, jangan-jangan doa yang kita panjatkan tidak ikhlas, atau melanggar koridor sunnatullah, atau tidak memenuhi adabnya? Wallohu a‘lam

0 komentar "Doa, Untuk Apa?", Baca atau Masukkan Komentar

Posting Komentar